Dengan rasa antisipasi besar, kami menaiki Shinkansen Tohoku dari Tokyo ke Otawara. Kota pedesaan di timur laut Prefektur Tochigi, kawasan yang menawarkan lebih dari ratusan tempat berbeda untuk tinggal, dan susunan aktivitas serta pengalaman yang bisa dipilih dari berbagai macam hal yang tak terhitung banyaknya. Kami berniat untuk merasakan pelarian yang membuat rileks sebelum tahun ini berakhir, yang ternyata berhasil kami dapatkan.
Hari pertama
Setibanya kami di Stasiun Nasu-Shiobara, kami bertemu dengan koordinator Otawara Tourism kami yang menyediakan satu set peta dan brosur. Kami juga menerima peta yang dipersonalisasi untuk memfasilitasi kegiatan bersepeda kami ke sekitar pertanian yang direncanakan untuk mempermudah rute sepeda kami.
Kami menaiki taksi ke Kota Otawara dan diturunkan di Suzuki Bicycles di mana kami menyewa dua sepeda baru -sudah termasuk helm- dengan membayar sewa masing-masing sepeda sebesar ¥1.500 per hari.
Kemudian kami menuju Sakura House di mana tuan rumah kami, Tn. dan Ny. Ishii sudah menunggu. Semangat ceria mereka menyapa kami sementara koordinator menolong kami untuk check in. Meskipun Keluarga Ishii tidak fasih ngobrol dalam bahasa Inggris, mereka sangat berpengalaman dalam melayani tamu, dan mengusahakan segala sesuatunya berjalan dengan lancar. Kami menurunkan ransel kami dan pergi makan.
Kami menaiki sepeda untuk santap siang di Kafe Petani. Set makanan di sini, masing-masing seharga ¥1.400, sudah termasuk salad bar, makanan utama, teh atau kopi, dan serbet. Kami memilih favorit kami dari kacang hitam, burdock, pâté, dan bermacam-macam sayuran dan daging. Untuk hidangan utama aku memilih rogut daging sapi lezat yang direbus dalam saus demi-glace (saus dasar coklat). Sementara suamiku memilih daging berbumbu diiris tipis yang ditumis hingga berwarna kecoklatan.
Orang Otawara yang memiliki Pertanian Maeda mengoperasikan kafe ini secara langsung sehingga hampir semua makanan mereka berasal dari produk lokal dan disiapkan langsung di tempat. Di sini juga ada toko daging.
Kami mengamati bahwa dekat restoran tersebut, kami dapat mencicipi roti yang dibuat dari ragi alami dan gandum yang ditanam di daerah ini juga. Jadi kami bersepeda ke Namakemono no panya (artinya "toko roti kukang"). Aku membeli empat papan roti sedap dari roti dengan gandum 40 persen, seharga ¥200 sepotong.
Memetik sayuran untuk makan malam
Kembali ke Sakura House, Tn. Ishii meminjamkan peralatan untuk memetik bahan-bahan nabe (hot pot) musim dingin yang lezat langsung dari kebun sayuran mereka. Ia menunjukkan pada kami di mana tempat untuk memetik daun bawang, lobak, hakusai (kubis Cina), shungiku (daun Chrysanthemum), dan banyak lagi.
Kami mengalami banyak momen lucu ketika kami menyeberang jalan dengan gerobak penuh dengan lobak. Tofu, wortel, jamur shiitake dan enoki, tiram, dan hotate (kerang) sudah menunggu kami di dapur. Kami juga memetik togarashi (cabai merica Jepang) dan beberapa buah jeruk yuzu lembut.
Kami menyukai futon dan origami yang disiapkan tuan rumah untuk kami. Kami benar-benar menikmati ofuro (kamar mandi) dan segala fasilitasnya. Rumah ini diperlengkapi dengan bak mandi dan dua toilet a la Barat.
Hari kedua
Langit jernih indah menyambut kami. Aku melihat sekilas taman dan rumah akugoya, sebuah struktur batu kecil di mana di masa lalu asap dibuang melaluinya.
Kurobane: Haiku dan Zen
Kami bergegas untuk menyantap sarapan tradisional bersahaja yang disiapkan Ny. Ishii yang sudah termasuk buah segar. Kami kemudian check out, namun menitipkan sepeda dan ransel kami di sini, dan berangkat ke Kurobane.
Kami tahu bahwa Basho menginap di daerah ini selama dua minggu karena terpikat oleh sake dan makanan lezat. Museum jaraknya cukup dekat dengan kuil. Sekitar jam 9 pagi kami menaiki bus lokal dan turun di halte peringatan pemadam kebakaran. Kami melakukan jalan pagi yang cepat, berhenti untuk melihat batu yang diukir dengan haiku (puisi) Matsuo Basho dari koleksi puisi dan kisah perjalanan terkenalnya "Oku no hosomichi" (Jalan Sempit ke Bagian Utara Terdalam).
Setelah jalan-jalan singkat, kami sampai di gerbang Kuil Daioji di mana pendeta muda Budha Bungyo-san menuntun kami melewati pengalaman zen pertama kami.
Ia menjelaskan dasar dari meditasi Sekolah Sōtō dan menyerahkan brosur berbahasa Inggris. Dia menjawab pertanyaan yang kami ajukan dan kemudian memulai meditasi.
Belakangan, ia menunjukkan kuil, taman dan bahkan museum mereka kepada kami. Dia menuturkan sejarah kuil, menunjukkan lambang tuan tanah feodal setempat pada tikar tatami.
Menghabiskan waktu di Daioji merupakan sebuah pengalaman yang kami hargai, sesuatu yang nyaris tidak akan kita dapatkan dari atraksi wisata. Biaya turnya sebesar ¥1.500.
Di samping gerbang kuil, kami menikmati semangkuk mi soba lezat dalam porsi berlimpah bersama tempura ayu (ikan setempat yang tersohor) dengan harga ¥1.300.
Pada perjalanan pulang, kami mengambil gambar Sungai Nakagawa, gedung Ashikaga Bank, beberapa kura (gudang) tua dan pertokoan.
Rumah Otawara Kominka (Tradisional Jepang), onsen dan pub Tanakaya
Kembali ke Otawara, kami mengemas barang-barang kami dan kemudian check in di rumah keluarga Iwaki, sebuah bangunan kayu tua dengan furnitur klasik. Tn. dan Ny. Iwasaki menunjukkan pada kami pertanian mereka di mana mereka baru saja selesai memanen kacang kedelai, dan menjelaskan siklus produksi mereka sepanjang tahun.
Kemudian, kami pergi ke pemandian panas yang sangat dibutuhkan di sisi lain kota.
Untuk makan malam, kami ingin merasakan suasana pub pedesaan, jadi kami pergi ke sebuah izakaya (bar khas Jepang) bernama Tanakaya. Sebuah tempat yang nyaman yang benar-benar menyegarkan kami kembali setelah perjalanan dengan sepeda.
Kami mencoba jizake hangat (sejenis sake dibuat dari beras dan air lokal) Kokoro, dari Tentaka Brewery di dekatnya.
Di tempat ini terdapat pilihan ayam yang lezat namun terjangkau harganya, babi katsuni, dan hidangan tofu agedashi dengan harga dari ¥350 hingga ¥950. Aku mendapati tofu gorengnya begitu nikmat seolah bukan dari dunia ini.
Kembali ke rumah pertanian, kami tenggelam dalam kasur futon.
Senin
Ny. Iwaki mentraktir kami dengan sarapan Jepang rumahan dan menyediakan mesin pembuat espresso yang membuat kami benar-benar merasa berterima kasih.
Sebelum check out, ia mengantar kami berjalan-jalan ke sekeliling sambil membiarkan kami mengambil foto-foto dari gudang tua dan kebun mereka.
Kemudian kami berkendara ke pusat kota Otawara di mana kami berbelanja sedikit. Ada sebuah toko manisan bergaya lawas di samping pasar Toko-Toko yang baru, jadi kami mengunjungi kedua tempat tersebut.
Setelahnya, kami makan siang di dekat Jintei. Teishoku atau set makanan terakhir kami terdiri dari ikan dan ayam yang hanya seharga ¥1.000.
Terakhir, kami menempuh beberapa mil tambahan karena kami tidak bisa menahan godaan lentera-lentera Kanadoro maupun hasrat mengunjungi Kuil Yakushi untuk menanyakan perjalanan yang aman kembali ke Tokyo.
Kami kemudian mengembalikan sepeda dan menumpang taksi kembali ke stasiun.
Menginap dua malam dengan dua kali sarapan dan satu kali makan malam total menghabiskan sekitar ¥13.000 per orang. Biaya tumpangan taksi di antara Nasu-Shiobara dan Stasiun Otawara sekitar ¥5.000.
Kami benar-benar dipuaskan oleh kesegaran dan kualitas tinggi dari makanan di daerah pedesaan. Namun, kami juga menikmati keramahan penduduk lokal sambil menikmati semua kenyamanan seperti sedang di rumah sendiri. Ini adalah sebuah perjalanan yang patut diulang kembali di musim semi atau musim panas.
Pesanlah penginapan pedesaanmu sendiri
Dengan jarak hanya sejam perjalanan dari Tokyo dan sekarang sedang on sale - nikmati wisata pedesaanmu sendiri di Otawara, prefektur Tochigi. Menginap dengan grupmu di rumah Jepang tradisionalmu yang sangat privat. Untuk detil lebih lanjut dan untuk mengajukan pesanan kunjungi AuthenticVisit.jp.