Pusat Kerajinan Omi-Jufu

Melestarikan metode tradisional produksi linen

Pusat Kerajinan Tradisional Omi-jofu terletak di Kota Notogawa, Prefektur Shiga. Pusat ini menggunakan metode kerajinan paling tradisional untuk menghasilkan produk mereka, mulai dari pakaian, tirai gantung, dompet dan taplak meja.

Omi-jofu secara harfiah berarti tekstil yang terbuat dari hemp dan rami, sejenis rumput dalam keluarga jelatang yang ditanam pemilik toko di kebunnya. Iklim di sekitar Notogawa sangat cocok untuk membudidayakan kedua tanaman rumput tersebut. Air mengalir dari pegunungan di sekitarnya menuju dataran rendah yang ada di Notogawa, lalu berakhir di Danau Biwa. Air pegunungan yang segar mendukung pertumbuhan hemp dan rami, yang pada bulan Juni dan Juli tumbuh setinggi lebih dari dua meter. Hasil panen musim panas yang cukup melimpah membuat Omi-jofu bisa terus melanjutkan produksi mereka selama bulan-bulan musim dingin.

Setelah merontokkan daun di waktu panen, lapisan terluar dari batang merupakan bahan mentah yang akan diolah menjadi benang yang tahan lama. Meskipun tipis, tapi benangnya sangat keras. Benang tersebut kemudian ditenun menjadi kain. Saya memiliki kesempatan untuk merasakan sendiri menenun dengan mesin tenun tradisional, alat yang seluruhnya terbuat dari kayu yang dibuat oleh seorang kenalan pemilik toko. Saya sangat kesulitan menggunakan mesin ini, karena ada banyak bagian berbeda yang harus dikontrol secara bersamaan. Mesin ini membutuhkan koordinasi keterampilan tangan, kaki, dan pinggang Anda untuk membuatnya bekerja. Untungnya dengan bantuan seorang asisten yang berpengalaman, saya berhasil membuat dua garis horizontal. Seorang pekerja yang berpengalaman bisa menghasilkan sekitar lima meter kain tenun sehari. Anda dapat membayangkan berapa banyak usaha yang diperlukan untuk menghasilkan sebuah gaun.

Proses selanjutnya yaitu pewarnaan yang pada dasarnya dibagi menjadi dua jenis: kain yang dicelup sebelum ditenun, atau sebaliknya, kain yang ditenun dahulu sebelum dicelup. Jika kain diberi warna dulu dengan proses pencelupan maka warnanya lebih lembut dan terlihat lebih alami, dengan warna kain tidak mudah pudar seiring bertambahnya waktu. Jika kain dicelup setelah proses menenun, warnanya jauh lebih kuat; namun warnanya tidak akan bertahan selama metode sebelumnya. Beberapa produk hanya memiliki benang warna vertikal, beberapa hanya benang warna horizontal, dan beberapa memiliki benang horizontal dan vertikal, yang semua warna benangnya diperoleh dengan teknik celup. Cukup mengesankan melihat bahwa pola rumit dapat diproduksi bahkan dengan hanya satu arah benang berwarna saja. Tentu saja, mencelup kain dengan dua arah berbeda merupakan pekerjaan yang sulit dan sangat memakan waktu. Sejumlah produk memiliki pola atau gambar putih, yang merupakan hasil proses pemutihan (bleaching). Proses ini dilakukan setelah proses menenun.

Dalam obrolan saya dengan pegawai di sana, saya mengetahui bahwa kerajinan tangan tradisional semacam ini tidak banyak menarik minat generasi muda. Toko dan pabrik terdekat yang saya kunjungi cukup beruntung karena mendapat dukungan pemerintah, tidak seperti lima pabrik lain di perkumpulan mereka, yang produknya sebagian besar merupakan buatan mesin. Menggunakan mesin tidak diragukan lagi lebih cepat, lebih murah, dan membutuhkan lebih sedikit tenaga kerja. Sebaliknya, Omi-jofu mengalami banyak kesulitan mempertahankan sebagian besar metode produksi tradisionalnya. Menurut pemilik toko, meskipun sebenarnya dia ingin lebih banyak orang mau belajar keterampilan tradisional, tapi dia ingin pabrik itu sendirilah yang ditetapkan sebagai harta nasional. Dia takut jika keterampilan itu sendiri yang secara resmi diakui oleh pemerintah, maka ketika kebijakan pemerintah berubah, Omi-jofu tidak punya pilihan selain mengikutinya. Kebijakan semacam itu bisa berisiko mengubah metode tradisional tertentu dan akhirnya mengakibatkan hilangnya keterampilan tertentu. Dia menekankan bahwa jika keterampilan itu diakui sebagai harta nasional, itu akan seperti disimpan di dalam kotak dan dimasukkan ke dalam museum. Tidak bisa lagi dikembangkan, sehingga budaya tersebut akan berhenti "hidup".

Sebagai seorang mahasiswa yang mempelajari peninggalan-peninggalan sejarah, saya merasa bahwa dilema yang melibatkan politik dan pengembangan kebijakan budaya lokal ini sangat menarik untuk dikaji. Namun, pertanyaannya tetap, bagaimana cara terbaik untuk mendorong orang menghargai aset budaya mereka dan bagaimana mereka dapat menggunakan elemen budaya mereka untuk mengidentifikasi diri mereka sendiri. Ini adalah topik yang tidak hanya menyangkut produksi linen tradisional, tapi juga masa depan bangunan-bangunan dilindungi lainnya, serta warisan budaya non-benda di Jepang.

0
0
Apakah artikel ini bermanfaat?
Help us improve the site
Beri masukan

Tinggalkan komentar

Thank you for your support!

Your feedback has been sent.