Bagi Itoko Ohara, 1924 adalah tahun terbaik dan terburuk. Bisnis dan adibusana (haute couture) berkembang pesat di masa damai yang berlangsung di antara dua perang dunia. Untuk seorang anak berumur 11 tahun yang mudah terkesan, kunjungannya ke kota-kota besar Kobe dan Osaka membawanya ke toko-toko swalayan seperti Takashimaya, yang terkenal di bawah Taisho Chic. Bagi ayahnya, melihat penurunan penggunaan kimono membuatnya merasa seperti sedang berada di persimpangan jalan. Dia bimbang untuk mengambil keputusan apakah akan melanjutkan bisnis kimono-nya atau berhenti mempertahankannya dan beralih pada pakaian gaya barat.
Menjadi seorang putri penjaga toko kimono di kota konservatif Kishiwada membuat keinginan Itoko untuk menjadi perancang pakaian barat selalu membuatnya berdebat sengit dengan sang ayah. 1920-an adalah masa kebangkitan untuk generasi pasca perang dunia pertama. Osaka pada masa itu adalah kota terbesar keenam di dunia, bahkan melampaui Tokyo. Dari studionya, pakaian mode terbaru dari Paris dan London akan tiba dalam jumlah yang banyak. Pada waktu yang sama, simbol-simbol mode barat memiliki tantangannya tersendiri. Aula dansa di Osaka dan Kobe baru saja dibuka, dan pemain trompet Fumio Nanri melakukan debut bersama band jazz Amerika dari Shanghai, Manila, dan Chicago. Pada tahun 1934 ketika dia akhirnya membuka toko pakaiannya sendiri, Amerika adalah standar untuk berbagai hal. Dengan nilai-nilai emansipasi dan gaung dari Itoko dan orang-orang lain dari generasinya, salah satu warisan yang masih tersisa dari zaman itu terdapat di butik Koshino di Kishiwada yang sekarang menjadi populer berkat serial TV NHK yang disebut "Carnation".
Di seberang Koshino ada sebuah kedai kopi yang tampak persis seperti kedai yang sering dikunjungi Itoko. Para pelayan pria memakai pomade rambut Brylcemed, kemeja putih, dan dasi kupu-kupu, sementara para pelayan wanitanya memakai celemek panjang dan stoking putih. Duduklah di meja kayu berpelitur dan bernostalgia bersama para pelayan sambil menyeruput kopi yang digiling dengan mesin yang diputar dengan tangan dan disaring terlebih dahulu, rasanya seperti waktu berhenti pada tahun 1920-an. Menunya juga sebagian besar tidak berubah, dengan omelet, sandwich tomat, dan mentimun yang disajikan di roti putih tanpa pinggiran, atau crepes selai stroberi dengan krim kocok, semuanya dengan harga kurang dari ¥1,000. Di sini tidak akan terlihat tanda-tanda kehadiran ponsel pintar, jus yang diperas dengan alat, atau diet Paleo. Yang ada justru koran-koran kertas, sehingga Anda bisa menikmati membaca surat kabar yang masih dicetak dengan kertas yang lebar.
Sebuah makanan versi Amerika yang lebih lama dan romantis juga menjadi salah satu makanan yang terkenal di menu. Meskipun lebih dikenal dengan kopinya, banyak pelanggan yang datang ke sini untuk membeli burger. Dengan tekstur patty kenyal dan daging cincang yang berasal dari toko daging sukiyaki yang terkenal di Osaka, menu klasik dengan cheeseburger dan irisan nanas ini banyak diminati oleh pelanggan-pelanggan yang senang bernostalgia.