Kunjungan ke Sunakku

Secuil kehidupan malam yang hanya ada di Jepang

Jumat malam. Saya dan dua orang teman saya yang berdarah setengah Jepang bernama Nana dan Maya, baru saja selesai menyantap beragam jenis seafood di sebuah izakaya dekat rumah mereka di area Nakano. Baru kali itu saya mencoba menghabiskan tuna berukuran jumbo dengan cara dicuil menggunakan kerang, dan di saat yang bersamaan, untuk pertama kalinya juga saya mencicipi daging uni alias bulu babi! Dua orang teman saya ini memang pandai memperkenalkan hal-hal berbau lokal yang belum pernah saya sentuh—dan saya yakin mereka berdua punya sesuatu lagi untuk ditunjukkan malam ini. Setelah menyelesaikan pembayaran, ternyata mereka tidak punya rencana lain. Tapi itu justru menjadi awal dari kemunculan sebuah ide brilian, yang mengantarkan saya pada satu lagi pengalaman super lokal yang tidak pernah saya ketahui sebelumnya.

Karena masih banyak yang ingin kami ceritakan satu sama lain, meski saat itu kami sudah sedikit lelah (mereka sepertinya melewati pekerjaan yang banyak seharian ini, begitu pula dengan saya, yang baru benar-benar tiba dari Hitachi dan segera bergegas ke Nakano untuk bertemu mereka), Nana pun memutuskan untuk melanjutkan pertemuan ini. Di sebuah tempat yang sangat lokal, dan ia tahu saya belum pernah mengunjunginya. Ketika saya bertanya mau ke mana, ia menjawab, "Sunakku."

Itu merupakan satu kata yang sangat asing bagi saya, dan bahkan belum pernah saya dengar sebelumnya. Tanpa banyak pertimbangan, Maya langsung menyetujui dan kami pun berjalan meninggalkan izakaya. Saya sama sekali tidak terbayang seperti apa tempatnya, dan apa yang akan saya temukan di sana—tapi karena usulan ini datang dari Nana dan Maya, saya yakin ini akan menjadi sesuatu yang benar-benar baru dan berkesan untuk saya.

Kami berhenti di sebuah bangunan apartemen biasa, di mana di sebelahnya terdapat tangga ke ruang bawah tanah. Nana mengajak kami turun, dan kami tiba di depan sebuah pintu yang wujudnya biasa saja. Tapi samar-samar saya bisa mendengar suara musik dan orang bernyanyi dari dalam. Saya sudah pernah mencoba berkaraoke di Jepang, tapi saya tahu betul kalau sebuah tempat karaoke tidak mungkin bersembunyi di balik gedung apartemen, dengan pintu masuk yang biasa-biasa saja pula.

Nana sempat mengintip ke balik pintu, namun kembali menutupnya. Memberi kesan bahwa di dalam ramai dan sepertinya kami tidak akan muat untuk masuk. Ini membuat saya semakin yakin bahwa saya tidak sedang berada di depan tempat karaoke, karena di dalam sepertinya sempit sekali. Beberapa saat kemudian pintu terbuka, dan dua orang salarymen keluar. Memberi tahu kami bahwa kini sepertinya kami bisa masuk ke dalam.

Saya bohong kalau saya tidak kaget ketika memasuki ruangan itu. Sebuah bar kecil berisi sekitar enam atau tujuh bangku yang diletakkan di depat sebuah meja bar kayu, dengan pramusaji seorang wanita tua. Dan tempat itu benar-benar sempit! Tiga bangku yang kosong berada di sisi seberang ruang, sehingga kami harus perlahan-lahan berjalan menyelinap di belakang sekitar tiga bangku yang sudah diisi orang. Saya pernah melihat tempat semacam ini di televisi, hanya saja saya tidak pernah tahu kalau namanya adalah sunakku.

Kami segera memesan minuman—yang ditawarkan, disiapkan, dan disajikan oleh sang wanita tua. Karena staf di bar itu hanya dia seorang. Di belakangnya berdiri sebuah rak raksasa berisi berbotol-botol jenis minuman beralkohol, yang beberapa di antaranya dilabeli dengan nama-nama orang (yang kemudian baru saya ketahui itu adalah botol para pengunjung yang ditinggalkan di bar ini untuk kemudian dinikmati lagi oleh sang pembeli di kemudian hari). Sudut ini sangat serupa dengan bar-bar pada umumnya, tapi satu hal yang membuatnya berbeda, adalah kehadiran mesin karaoke lengkap dengan layarnya.

Ini dia yang saya dengar tadi dari luar. Sunakku ternyata bukan hanya bar biasa, atau sesuai namanya, bar yang menyediakan berbagai macam makanan ringan agar pengunjungnya dapat menghabiskan waktu. Sunakku biasanya juga dilengkapi dengan fasilitas karaoke, di mana para pengunjung bisa dengan bebas memilih lagu dan bernyanyi, tanpa dikenakan biaya tambahan! Saya sangat suka karaoke, dan Nana tahu itu, sehingga ia memutuskan untuk mengajak saya ke sini! Sayangnya saat itu karaokenya sedang digunakan oleh dua orang salarymen muda. Mereka sudah lebih dulu berada di sana, dan bahkan sedang bernyanyi ketika kami baru masuk (saya ingat sekali lagu yang mereka nyanyikan adalah "Under the Sea" dari kartun Disney The Little Mermaid, yang sangat menempel karena saya suka Disney, dan karena lagunya berbahasa Jepang!).

Kami pun ngobrol-ngobrol lebih dahulu. Nana menjelaskan semua hal tentang sunakku, dan Maya berbincang dengan sang pramusaji. Suasana sosial seperti ini memang identik dengan sebuah sunakku: para pengunjung yang datang berdua atau berkelompok akan semakin mendekatkan diri dengan berbincang-bincang sambil minum-minum, atau tentu saja berkaraoke; sedangkan mereka yang datang sendirian akan menjadi teman ngobrol sang pramusaji yang biasanya, tak hanya di sunakku yang saya datangi ini, memang bekerja seorang diri.

Mesin karaoke pun kosong. Saya menggunakan kesempatan ini untuk menyalurkan hobi yang paling saya gemari, sekaligus memamerkan kemampuan berbahasa Jepang yang saya miliki (yang sayangnya hanya terbatas pada lagu-lagu saja). Rasanya memuaskan sekali bisa melakukan semua ini hanya dalam satu kunjungan singkat ke tempat yang sebenarnya biasa-biasa saja untuk pengunjung lokal, tapi sangat berkesan bagi wisatawan seperti saya. Ini benar-benar merupakan sebuah pengalaman baru yang sangat menyenangkan, karena suasana khas Jepang yang kental sangat begitu terasa!

0
0
Apakah artikel ini bermanfaat?
Help us improve the site
Beri masukan

Tinggalkan komentar

Thank you for your support!

Your feedback has been sent.