Ryokan Rumah Perahu Ine

Menari di bawah sinar rembulan di Funeya Maruichi

Saya menantang Anda untuk membuka jendela, kalau berani! Kenapa? Apakah ada monyet atau naga di luar?

Saya teringat tentang cerita-cerita monyet dan elang dari Tadakki yang dia ceritakan hari itu, namun secara perlahan saya bergerak mendekati jendela. Dengan enggan saya membuka jendela dan perlahan-lahan mengintip ke luar. Naga hijau dan monyet tidak terlihat. Alih-alih, saya menghirup udara laut segar yang sarat dengan aroma rumput laut dan garam laut, yang mengingatkan pada rasa sup miso dan kerang laut segar.

Perjalanan saya mengarungi laut dimulai dengan semangkuk donburi nasi kerang dan sup kerang, hidangan khas yang memiliki aroma laut kuat di dermaga Ichinomiya beberapa jam sebelumnya. Laut membentuk setiap aspek kehidupan di sini. Dulu kota ini terputus oleh gunung-gunung curam yang ada di belakangnya, yang membuat daerah ini hanya bisa diakses melalui laut saja. Faktanya, garasi di bagian bawah rumah mereka terbuka ke laut. Para petani akan menangkap ikan saat fajar dan menggarap sawah, atau memperbaiki jala mereka di sore hari. Tempat ini benar-benar terisolasi dari dunia luar selama berabad-abad. Namun itu adalah salah satu pesona tinggal di sini. Rasanya seperti berada di sebuah pulau atau di atas kapal, tapi dengan berbagai kenyamanan yang ditawarkan oleh machiya di daratan.

Sekarang ini ada garasi untuk mobil dan juga perahu. Beberapa perahu nelayan sekarang ukurannya terlalu besar untuk bisa muat di garasi sehingga perahu-perahu tersebut bersandar di perairan-perairan yang terlihat seperti cermin di pagi hari. Jika Anda menengok ke bawah garasi funeya, Anda dapat melihat dengan jelas ke dasar teluk. Sebuah dunia lain yang dipenuhi dengan hamparan rumput laut yang melambai secara perlahan.

Di sisi lain ada monyet di pegunungan, dan jebakan dengan buah diletakkan di berbagai tempat untuk menghentikan mereka menguasai pemukiman dan ladang penduduk. Pemandu kami, Tadakki, memberi tahu saya bahwa mereka dapat mencapai Desa Ine dan masuk ke rumah orang, tapi kekhawatiran saya pada malam itu lebih pada menemukan mesin minuman, berusaha tetap hangat, dan mencari tempat terbaik untuk menyaksikan cahaya bulan di atas air yang tenang. Di sini, malam hari sangatlah sepi. Terutama saat berkabut di bulan Maret, karena tidak ada aktivitas manusia -- tapi itu justru berhasil menarik perhatian saya. Tak heran kalau hanya ada satu restoran saja yang buka. Sangat menyenangkan bisa pulang ke Marunuchi, sebuah rumah perahu tradisional yang direnovasi dengan kenyamanan rumah modern, seperti Wi-Fi, tempat tidur Barat dan Jepang di loteng lantai atas, serta ruang makan di lantai bawah.

Sebelumnya di hari itu Tadakki membawa kami ke peternakan susu yang berada di dataran tinggi Ikari. Tempatnya hanya butuh waktu beberapa menit berkendara dari Ine melewati jalan berliku, pegunungannya yang terawat rapi, rumah-rumah bergudang dan traktor yang membuatnya lebih mirip Hokkaido atau pedesaan di Amerika. Sapi-sapi memastikan keberadaan mereka diketahui oleh orang yang lewat, suara berisik mereka memecah keheningan sore yang hujan saat itu.

Ribuan tahun yang lalu seorang penguasa Cina memikirkan sesuatu selain susu dalam benaknya. Dia mengirim utusannya ke pulau yang jauh untuk mencari ramuan keabadian. Dari perahu kayu Cina, gunung-gunung Kyotango pasti terlihat seperti raksasa yang tertidur dengan siku terlipat, pundak lebar, dengan kepala dan telinganya yang bersandar di tanah seolah-olah sedang mendengarkan tetesan air yang datang dari kedalaman bumi. Para pelaut kuno itu mungkin bukannya menemukan raksasa tapi hanya monyet, seperti monyet salju di Nagano. Ada sebuah kuil Shinto yang sekarang berdiri di atas tebing di Kyotango sebagai sebuah upeti. Saya pikir jika dia selamat dari tubrukkan kapal di pantai yang curam dan berbatu ini, dia harus menganggap dirinya diberikan kehidupan kedua.

Setelah semalaman bermimpi tentang keabadian, Anda dapat bangun untuk menikmati sarapan khas Jepang buatan sendiri yang sangat lezat, terdiri dari ikan lokal dan acar sayuran, serta sup rumput laut yang kaya dengan cita rasa laut.

Ada berbagai kejutan dan kesenangan di tiap musimnya di sini. Pada bulan Januari gunung-gunung masih diselimuti oleh salju, tapi Anda akan disuguhi Kepiting Matsuba, makanan khas setempat. Di musim panas, duduklah di tepi pantai untuk pesta kembang api dan menyaksikan festival musim panas, atau melihat layang-layang dan burung camar di atas kapal pesiar.

Yang harus dicoba di musim apa pun adalah sepeda gratis yang tersedia secara berkala di sepanjang pantai, kantor pos, dan dermaga perahu wisata. Jika Anda bangun pagi, pastikan untuk membeli ikan yellowtail dan sardin segar di pasar, yang kulitnya tampak berkilau di bawah sinar matahari pagi yang menembus celah-celah pasar. Atau Anda dapat mencoba memancing mulai dari beberapa jam hingga seharian penuh di atas kapal sewaan.

0
1
Apakah artikel ini bermanfaat?
Help us improve the site
Give Feedback

Gabung diskusi

Vicky Amin 4 tahun yang lalu
Duhh ryokan biasa aja udah menarik, apalagi ini di atas air

Thank you for your support!

Your feedback has been sent.