Sanja Matsuri (festival Shinto Jepang) adalah satu dari tiga festival Shinto terbesar di Tokyo. Perayaan tahunan ini diadakan di Asakusa pada akhir pekan ketiga di bulan Mei. Saya dapat menyaksikan matsuri ini, murni karena sebuah kebetulan. Berjalan ke lobi dengan membawa kamera dan hendak menuju Yokohama, saya didatangi oleh tamu lain di bangunan apartemen saya. Melihat kamera yang saya pegang, ia bertanya apakah saya hendak menyaksikan Sanja Matsuri. Tentu saja ini memunculkan minat dalam diri saya; meski yang saya tahu hanyalah kenyataan bahwa festival ini diadakan di Asakusa. Namun pada akhirnya, dalam perjalanan kereta saya memutuskan untuk membuang rencana saya ke Yokohama dan mengambil risiko pergi ke Asakusa untuk melihat apakah saya berhasil berjumpa dengan festival ini atau tidak.
Setibanya di Asakusa saya mempelajari peta yang berada di luar stasiun dan bergegas ke Kuil Sensoji karena rasa-rasanya tempat inilah yang paling masuk akal untuk didatangi. Berjalan melintasi Asakusa memberikan kesan Jepang kuno yang sangat kental, dengan orang-orang yang berkeliling dalam balutan katun kimono dan yukata. Distrik ini sepertinya sangat dilestarikan. Ketika saya menemukan jalur menuju Kuil Sensoji saya berkeliling terlebih dahulu untuk melihat tanda-tanda diadakannya Sanja Matsuri. Ada banyak stan makanan berbaris di kedua sisi kuil yang menjual es serut, yakitori (ayam bakar yang ditusuk seperti satai) dan banyak lagi makanan jalanan khas Jepang lainnya. Karena tidak menemukan bukti adanya festival selain stan-stan makanan dan anak-anak sekolahan yang sedang berlari-larian, saya pun beranggapan bahwa saya telah melewatkan festival ini.
Namun saya tetap memutuskan untuk melihat Kuil Sensoji, mengingat saya sudah berada di sana. Kuil ini merupakan yang tertua di Tokyo dan dikonstruksi secara cantik dengan detil yang apik, menjadikannya tempat yang pantas dikunjungi meski tidak ada festival apapun yang terjadi. Tetap saja, saya merasa kecewa karena telah melewatkan festivalnya. Saya pun memutuskan untuk makan lalu kembali ke stasiun. Namun sebelum berangkat ke stasiun, saya tergoda untuk sekali lagi melihat-lihat sehingga saya pun kembali ke kuil. Saya sedikit penasaran ketika mendapati ada banyak sekali fotografer berdiri di dekat gerbang kuil. Mereka seperti sedang menunggu-nunggu sesuatu. Saya memutuskan untuk bergabung dan menunggu apapun yang mereka tunggu-tunggu.
Seolah-olah keberuntungan berada di pihak saya, ternyata saya sedang berdiri di tempat yang paling ideal ketika prosesi festival memasuki gerbang kuil. Saya sangat terkagum-kagum sampai hampir tidak bisa mengoperasikan kamera saya. Di hadapan saya ada banyak peserta festival yang mengenakan hakama (pakaian tradisional Jepang) dan penari-penari dengan wig dan topi putih yang panjang sehingga menyerupai bangau. Ada pula geisha, para pendeta, dan pemain musik yang menenakan kostum bergaya Zaman Edo. Musik tradisional Jepang yang terdiri dari genderang dan seruling mengalun ketika para musisi diantar ke dalam parade. Seketika saja, matsuri ini dipenuhi oleh orang-orang yang berusaha mengambil gambar dari parade yang sedang berlangsung. Saya berlari melintasi gang-gang dan menyelinap melewati orang-orang untuk mengejar prosesi ini sampai tiga kali, sebelum akhirnya saya merasa puas dengan apa yang telah saya lihat.
Pada akhirnya saya mengetahui bahwa apa yang saya saksikan itu adalah daigyoretsu (parade besar), sebuah bagian dari festival yang diadakan pada hari Jumat. Sanja Matsuri berlangsung mulai hari Jumat sampai Minggu dengan beragam acara yang diadakan. Melalui perspektif barat saya, menyaksikan festival Shinto ini sangat membuka mata. Dapat menyaksikan bagian dari budaya ketimuran ternyata menjadi sebuah pengalaman yang tak dapat dilupakan. Mengunjungi sebuah matsuri Shinto ketika sedang berwisata ke Jepang patut dijadikan agenda. Saya senang sekali saya bisa mendapatkan kesempatan ini.