Ketika berumur 7 tahun, saya menyaksikan sebuah pertunjukan kembang api di seberang sungai di Perth, ditemani anjing saya. Itu merupakan salah satu memori pertama yang bisa saya ingat. Bertahun-tahun kemudian ketika dewasa, saya merasakan sensasi kegembiraan serupa, ketika saya menikmati musim bunga sakura di Jepang. Bersama teman-teman asli Jepang yang menyenangkan, saya hampir pingsan terbuai lembutnya pancaran bunga-bunga merah muda sakura.
Saya harap saya berada di sana sekarang. Musim semi sudah datang kembali dan satu negara sedang bergairah. Berita-berita mengabarkan bagaimana orang-orang sangat menantikan 'Sakura Zensen' (prakiraan sakura) berminggu-minggu sebelumnya. Memang, kedatangan sakura selalu berubah-ubah dari tahun ke tahun.
Beberapa tahun lalu saya sengaja datang untuk mengejar sakura. Saya tidak bisa berbahasa Jepang, namun saya menyukai semangat yang tersirat dalam suara sang peramal cuaca di TV. Sesuatu yang besar akan tiba! Ketika dahan pertama dengan lima kelopak sakura mekar di Okinawa, ujung paling selatan Jepang, seluruh penjuru negeri meledak dalam kegembiraan. Akhirnya, musim pesta sakura dimulai!
Piknik hanami (melihat-lihat sakura) membanjiri taman-taman serta area kuil-kuil. Nasi kepal onigiri adalah tradisi khas dari festival ini. Juga sate cumi-cumi yang mendesis karena dibakar. Dan dengan minuman beralkohol, canda tawa pun akan terdengar bahkan hingga malam hari. Lentera-lentera kertas menyinari pepohonan yang nampak seperti pijaran api unggun.
Euforia ini bertahan hanya satu atau dua minggu. Cuaca hangat membujuk kuncup bunga keluar dari tidur panjangnya, namun kemudian hujan badai menghancurkan kelopak-kelopak cantik ini. Ketika sakura terakhir jatuh di pulau paling utara Hokkaido, pertunjukan pun usai.
Hanami bisa jadi sangat amat kompetitif. Perusahaan mengutus karyawan-karyawan muda mereka di pagi hari agar bisa merebut tempat-tempat terbaik untuk pesta hanami kantor. Kebiasaan ini menjadi keterlaluan, sampai-sampai saya sempat membaca kalau pemerintah kota terpaksa memberlakukan jam pagi dan jam malam untuk menghindari kecurangan.
Bahkan toko-toko pun kewalahan. Budaya konsumerisme di Jepang sangat mengejutkan. Setiap keinginan dari masing-masing orang yang jumlahnya sangat banyak itu seolah-olah dapat terpenuhi. Tapi ketika hati dan pikiran mereka teralihkan ke langit musim semi, bisnis pun harus ikut dalam pesta. Rak-rak berubah warna menjadi merah muda dengan minuman-minuman ringan, bir, wine, kue-kue, biskuit, es krim, pakaian, kimono, alat tulis kantor, perabotan rumah—semua bertema sakura! Starbucks mengeluarkan frappe rasa sakura, edisi terbatas. McDonald's pun pernah menjadi sedikit nyeleneh dengan burger aroma sakura dan mayones merah muda.
Jepang telah menanam sakura lebih dari seribu tahun dan hal ini telah menginspirasi seni, musik, juga syair-syair hingga hari ini. 'Sakura Sakura' adalah lagu dari Zaman Edo (1603-1868) yang sampai sekarang masih diajarkan di sekolah.
'5 Centimetres Per Second' adalah film animasi tahun 2007. Judul ini menyinggung lintasan dari kelopak sakura yang terjatuh. Film ini mengisahkan tentang dongeng seorang lelaki dan perempuan muda yang bertemu pada sebuah musim semi, namun setelahnya harus terpisah selama beberapa tahun.
Bagi orang Jepang, hanami adalah penanda dari berputarnya waktu. Di bawah kanopi merah muda yang halus, mereka akan merefleksikan apa yang sudah mereka lakukan dalam urusan keluarga, pertemanan, percintaan, dan karir semasa hidup. Dari apa yang saya alami, bunga-bunga lembut ini dapat memancarkan rona tak bersalah yang menyejukkan hati apabila saya mulai terpukul oleh nostalgia yang begitu kuat.
Musim semi membawa sebuah awal yang baru. April adalah masa dimana anak-anak kembali bersekolah, perusahaan-perusahaan menerima para wisudawan dan kenaikan pangkat seringkali diberikan. Lalu muncullah 'Penyakit Mei' dimana kejatuhan pasca-hanami terjadi karena adanya kekecewaan dari proses adaptasi dengan sekolah dan pencari pekerjaan, serta kenyataan yang jauh dari harapan. Dalam Perang Dunia II, pilot-pilot kamikaze melukis sakura di pesawat-pesawat mereka. Bunga yang tak kekal ini melambangkan kehidupan yang cantik, namun pendek.
Perkembangan industri Jepang pasca-PD II menghadirkan teknologi dan kesejahteraan yang luar biasa, namun diiringi degradasi lingkungan yang terus berlanjut hingga hari ini. Sebanyak tiga perempat bagian Jepang adalah pegunungan yang tak bisa dihuni. Sebagian besar masyarakat tinggal di ruang-ruang sempit dalam apartemen, di wilayah-wilayah pesisir.
Kecantikan yang dibuat-buat terpancar dari dalam pemandangan urban konkret ini. Tokyo di malam hari adalah sebuah ekosistem dengan banyak lapisan, sangat modern, berisi papan-papan komersil dan iklan. Diciptakan oleh manusia, bunga-bunga elektrik ini berdengung dalam semangat yang organik.
Meski demikian, setahun sekali alam memamerkan keanggunannya dan melimpahkan berkahnya ke dalam acara sosial budaya terbesar di Jepang. Pepohonan sakura memang tidak berbuah, namun seperti yang pernah dijelaskan oleh seorang penulis Jepang, "pohon sakura Jepang tidak perlu menghasilkan sesuatu karena ia terlahir sebagai golongan ningrat, dan satu-satunya tugas yang ia emban adalah untuk menjadi cantik." Seluruh negeri pun setuju, seni dan perdagangan pun tunduk di bawah keagungannya.
Saya beruntung pernah tercebur ke dalam kegilaan hanami selama sepuluh hari. Saya sangat menggemari semangat sang peramal cuaca di TV ketika ia menjabarkan Sakura Zensen tiap malam melalui sebuah peta. Namun pada malam terakhir ketiga saya, hamparan karpet merah muda yang memesona harus rusak karena lumpur. Saya mencabut sebuah kelopak dari lengan baju saya dan memandangi koin keberuntungan ini. Perasaan tak enak ala seorang traveler pun menyerang saya ketika saya terbang pulang. Dan desiran retsleting yang panjang dan lambat menjemukan saya dengan sebuah akhir yang sangat berat.
Saya sangat menyukai kegilaan teknologi tingkat tinggi di Jepang yang sangat berlebihan. Namun hidup menjadi terasa sangat cepat dan berlebihan kalau selalu diiringi dengan elemen yang satu ini. Tapi ketika sebuah kelopak sakura melayang turun seperti kepingan salju memasuki kotak bento... Itu adalah pengalaman Zen paling dahsyat yang membuat hidup terasa tenang dan begitu lambat, yang selalu akan Anda kenang dalam ingatan.
Satu foto lagi! Sebuah meja pesta hanami dengan tempat minuman. Cerdas sekali!
Sumber-sumber:
Lowell, S., Chasing the Cherry Blossom, Oxford: Lion Publishing plc, 2001
Enbutsu, S., A Flower Lover’s Guide to Tokyo, Tokyo: Kodansha International Ltd, 2007