Kelas Memasak Kyoto Uzuki

Biarkan pesona Emi merangkul Anda didapurnya

Sangat sulit untuk membuat Wagashi, makanan manis Jepang yang biasanya disajikan bersama Macha dalam upacara minum teh. Para murid belajar hingga bertahun-tahun untuk menyempurnakan gerakan menggunakan peralatan khusus, seperti alat pemotong gula tradisional terbuat dari kayu ceri. Bahkan terdapat penelitian laboratorium universitas yang menjadi fokus saat ini dalam mempelajari gerakan tangan para ahli masak berpengalaman agar teknik lama pembuatan Wagashi dapat disesuaikan bagi generasi berikutnya.

Akan tetapi di kelas memasak Emi, diberikan tips berdasarkan pengalaman memasak di rumah seperti cara agar adonan tepung kentang tidak menempel di jari dan menggunakan cangkir daripada cetakan kue beras tradisional mochi, menghasilkan suatu bentuk seni bahkan bagi para pemula. Pada saat yang bersamaan, Anda dapat merasakan penghormatan yang dilakukan terhadap bahan-bahan yang digunakan, berhati-hati dalam mencuci dan memutihkan kacang merah adzuki sehingga keluar hasil yang terbaik. “Selalu tempatkan kacang di bawah air”, Emi berkata, memperlakukan kacang tersebut seperti ikan. Hal itu menunjukan penghormatan Emi terhadap kemurahan alam. Ketika menguleni bahan di dapur yang bergaya pedesaan, Saya merasakan kedamaian dan fokus pikiran yang biasanya muncul pada saat melakukan meditasi.

Saya mengingat sebuah film, “Lost in translation”, dimana Scarlett Johansson, tersesat dan bingung di Tokyo, mengalami saat-saat terhubung pada saat dia mengikuti kelas merangkai bunga ikebana. Seperti halnya guru ikebana yang baik hati dalam film tersebut, berjumpa dengan Emi dapat menjadi momen terhubung Anda di negara asing.

Sebagai orang yang mendapatkan pelajaran dari ibunya dibandingkan dengan penelitian tahunan universitas, Emi berbicara dengan sangat lembut, tidak ada suasana tegas penuh dengan perintah tegas dari sang pemberi tugas. Emi adalah tipe orang yang berkata apa adanya, hal yang Saya temukan sangat menawan. Seperti terdapat gadis kecil dibalik rambut putihnya. Melihat Emi berjalan mengitari meja dapur, menabur tepung di papan potong kayu yang sudah usang seperti konfeti, hampir sama menyenangkannya dengan kursus memasak itu sendiri. Dalam dapur rumah Jepang tidak akan ditemukan dapur penuh keramik buatan tangan, peralatan baja anti karat, dan peralatan berharga seharga ribuan dollar. Seperti studio seniman, Emi membuat Wagashi agar dapat dibuat dari peralatan masak standar yang ada di dapur.

Emi tidak memiliki semua jawaban mengenai sejarah Jepang dan botani akan tetapi kecintaanya terhadap kehidupan, keluarga, memasak, dan perayaan datang dari jawaban lembut dan nasihat. Kecintaan Emi dalam mengajar datang melalui komentar kecil seperti “tolong buat adonan menjadi sedikit lebih keras daripada pancake”, membuat Anda lebih memahami penjelasannya.

Dalam momen refleksi, Emi menyesal bahwa saat wanita Jepang pergi ke kelas memasak saat ini; mereka lebih suka membuat kue black forrest dan tiramisu dibandingkan dengan Wagashi. Hal itu seakan-akan membuat mereka kehilangan hubungan dengan ibu. Ketika Emi tumbuh besar, neneknya akan membuat Wagashi tiga kali dalam seminggu. Pada saat yang bersamaan, Emi sering membuat makanan ciptaan sendiri yang disesuaikan dengan selera internasional, seperti menambahkan stroberi untuk membuat Wagasi lebih diterima. Akan tetapi, jauh sebelum Luke Mangan menciptakan karamel asin, Emi telah menambahkan garam ke dalam Wagashi untuk menajamkan rasa manisnya.

Kelas memasak Emi, seperti berlatar belakang musik film yang terdengar semakin keras, membawa kehidupan kejalannya sendiri. Ketika aroma kue kayu manis mengudara, suara Emi memiliki kualitas musikal, dengan nada tinggi bergantian antara suara guru dan ilmuwan gila. “GULA putih!” Emi akan berteriak dengan seringai, seperti ilmuwan gila dari acara Muppet berhasil menyingkap bahan rahasia untuk pertama kalinya. Akan tetapi Emi berbicara dengan wajah bertampang baik; terlihat seperti anak kecil di toko permen dibandingkan dengan sosok Dr. Jekyll gila yang keluar dari cangkangnya. Saya tidak mengetahui bahwa pada jaman dahulu, gula sangat jarang di Kyoto, dan hanya orang kaya yang mampu membeli makanan manis. Untuk menambahkan gula pada makanan Anda merupakan tanda kemewahan dan kecanggihan. Hal itu seperti Emi memberikan pelajaran sejarah tanpa menyadarinya.

Murid di kelas memasak Emi datang dari semua umur dan budaya, seperti dunia kecil turis internasional yang Anda temukan di Kyoto. Jadi apabila terdapat lebih dari empat murid di sini, pertukaran perbedaan latar belakang budaya, kemampuan dan kepribadian akan membuat otak Emi kelebihan beban, dikarenakan Emi akan menyesuaikan setiap kelas bagi setiap murid. Untungnya, kelas Emi terdiri dari berbagai jenis mulai dari murid yang berjumlah dua atau empat, sehingga apabila Anda ingin memasak masakan tradisional gurih atau makanan manis Jepang, dijamin kelas akan disesuaikan dengan keinginan Anda. Penampilan penuh perhatian dari cangkir teh buatan tangan dan piring yang berasal dari galeri sebelah makin melengkapi pengalaman budaya.

0
0
Apakah artikel ini bermanfaat?
Help us improve the site
Give Feedback

Tinggalkan komentar

Thank you for your support!

Your feedback has been sent.