Desa Ainokura dan Shirakawago

Tur Nohi Bus ke Desa Tradisional

Hembusan udara dingin cukup membuat saya menggigil walaupun sudah mengenakan "pakaian tempur" mulai dari long john hingga winter jacket pada suatu pagi yang tenang di kota Takayama, Desember 2018. Pagi itu adalah hari keempat saya berwisata di Negeri Sakura dan hari kedua berada di kota kecil yang tenang di kaki bukit, Takayama. Hari itu saya berencana untuk mengunjungi dua desa tradisional yang cukup terkenal di Jepang, Shirakawago dan Ainokura, dengan menggunakan Nohi Bus Tour yang sudah saya pesan secara online satu bulan sebelumnya. Tidak sulit untuk menemukan terminal di Kota Takayama, karena merupakan satu-satunya terminal yang ada di kota kecil tersebut. Walaupun jadwal tur baru dimulai pukul 8.30 pagi, namun sekitar pukul 7 saya sudah berjalan-jalan di area Takayama Station dan Nohi Bus Center yang terletak tepat di seberang hotel tempat saya menginap. Sambil duduk-duduk di bangku yang masih kosong saya pun mulai melahap onigiri yang saya beli di konbini terdekat.

Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 8.15, artinya 15 menit lagi Nohi Bus yang sudah saya reservasi akan segera tiba di Nohi Bus Center Takayama. Pukul 8.20 ternyata bus sudah tiba di terminal dan saya pun langsung menunjukkan bukti reservasi yang sudah saya cetak. Ternyata ada kesalahan prosedur: bukti reservasi tersebut harus ditukar dengan semacam karcis di bagian customer service. Akhirnya saya diantarkan menuju customer service oleh kondektur Nohi Bus yang sangat ramah. Setelah mendapatkan karcis, saya langsung masuk ke dalam bus yang cukup besar, di mana di dalamnya terdapat kira-kira 40 orang peserta tur yang semuanya berasal dari luar Jepang. Tepat pada pukul 8.30, bus berangkat dari Nohi Bus Center Takayama ke destinasi pertama, Desa Ainokura.

Tim pemandu wisata dari Shirakawago Nohi Bus Tour yang saya ikuti terdiri dari 3 orang, dan dua diantaranya adalah mahasiswi yang masing-masing berperan sebagai pemandu wisata dan kondektur. Kedua mahasiswi tersebut sangat ramah, fasih berbahasa Inggris, serta informatif dalam memberikan penjelasan tentang berbagai spot menarik yang terdapat di Ainokura dan Shirakawago. Walaupun didampingi pemandu, para peserta dibebaskan untuk menjelajah sendiri berbagai area di dua desa tersebut. Yang harus diingat adalah peserta harus kembali ke bis sesuai dengan jam yang telah ditentukan.

Perjalanan Nohi Bus menuju Shirakawago pada masa sekarang sudah semakin mudah, tidak lagi seperti dulu yang memakan waktu hingga 3 jam. Kemudahan tersebut bisa terwujud pasca selesainya pembangunan jalan tol Tokai Hokuriku Ekspressway dan Hida Tunnel pada tahun 2008. Sepanjang jalan pemandangannya sangat indah karena terlihat gunung dan lembah di kejauhan, serta beberapa sisa salju yang masih terlihat di pinggir jalan tol. Salah satu pemandangan menarik yang saya lihat di sepanjang perjalanan adalah Desa Suganuma yang sebagian tertutup salju.

Melihat sisa-sisa salju di sepanjang jalan tol semakin membuat saya tidak sabar untuk segera bermain dan melihat langsung salju di Desa Ainokura dan Shirakawago. Ketika jam menunjukkan pukul 9.40 waktu setempat, bus meluncur menuju daerah perbukitan dan 5 menit kemudian akhirnya kami tiba di Desa Ainokura.

Setelah mendengarkan penjelasan, rombongan langsung turun dari bus dan mencari spot-spot foto yang bagus, begitu pula dengan saya, yang langsung takjub dan terkejut karena untuk pertama kalinya saya bisa melihat secara langsung fenomena alam berwarna putih bersih ciptaan Yang Maha Kuasa. Salju. Wow… Senang sekali rasanya hati ini bisa melihat salju di salah satu desa tradisional di Jepang, pada awal Desember ketika mayoritas ramalan cuaca menjelaskan bahwa tidak akan turun salju untuk kota-kota yang berada di Pulau Honshu.

Salju tersebar di seluruh penjuru desa, mulai dari sekitar tempat parkir bus, rumah penduduk, toko cenderamata, restoran, dan beberapa tempat lainnya. Tebalnya salju menjadikan Desa Ainokura seperti desa di Negeri Dongeng. Saya pun mulai menjelajah beberapa sudut desa kecil tersebut, berjalan-jalan di halaman rumah penduduk dan lapangan yang sepenuhnya tertutup salju. Saya juga tak melewatkan pengalaman menggengam butiran salju dan melemparkannya ke lapangan. Sama seperti desa tradisional lainnya yaitu Shirakawago, rumah penduduk di Desa Ainokura juga menggunakan arsitektur Gassho-Zukkuri yang menyerupai tangan manusia yang sedang berdoa. Desa ini juga memiliki beberapa spot menarik yang dapat dikunjungi, antara lain Ainokura Folklore Museum, Ainokura Traditional Industry Museum, dan Viewpoint. Namun karena keterbatasan waktu, saya hanya berfoto di depannya saja dan tidak sempat masuk ke tiga objek tersebut.

45 menit kemudian, kami meninggalkan Desa Ainokura untuk menuju desa berikutnya, yaitu tujuan utama dari Nohi Bus Tour hari ini sekaligus salah satu desa tradisional yang paling terkenal di Jepang, Shirakawago. Perjalanan ke Shirakawago memakan waktu kurang lebih 1 jam 15 menit dan kembali melalui jalan tol.

Berbeda dengan Ainokura, Shirakawago lebih besar dan memiliki terminal bus dan juga lampu lalu lintas yang merupakan satu-satunya di desa itu. Selain lebih besar, cuaca di Shirakawago juga berbanding terbalik dengan Ainokura karena selain tidak bersalju, matahari juga bersinar dengan terang pada hari itu. Destinasi pertama yang kami kunjungi di Shirakawago adalah Tenshukaku Observatory, tempat di mana pengunjung dapat melihat dan memotret seluruh desa. Tenang, tempat ini dibatasi oleh pagar kayu sehingga Anda bisa memantau seluruh desa Shirakawago dengan aman. Menurut penilaian saya pribadi, desa ini akan terlihat lebih cantik ketika salju sedang turun dan menutupi sebagian atau seluruh desa.

Sebelum memasuki sesi foto, terlebih dahulu rombongan diajak untuk makan siang yang merupakan bagian dari paket tur. Menu makan siang terdiri dari irisan tahu, soba, buncis, ikan, dan sejumlah potongan kecil daging sapi yang tentunya masih hangat. Sedangkan untuk minumannya adalah ocha panas khas Jepang yang boleh ditambah tanpa dikenakan biaya.

Selesai makan siang dan memotret Desa Shirakawago dari Tenshukaku Observation Deck, bus melanjutkan perjalanan menuju Shirakawago Bus Terminal, di mana dari tempat itulah saya dan seluruh rombongan mulai menjelajah Desa Shirakawago yang terkenal. Penjelajahan di desa Shirakawago dimulai dari rumah terbesar yang terletak di desa itu, Wada House. Untuk menjelajah rumah ini dikenakan biaya ¥300, sehingga saya memutuskan untuk berfoto saja di depannya. Pada saat itu juga tidak terlalu banyak turis yang masuk ke dalam rumah, mungkin karena sedang tidak turun salju sehingga cukup menikmati arsitektur gassho-zukkuri rumah tersebut dari luar.

Perjalanan berlanjut ke arah timur dan kembali bertemu dengan rumah terbesar kedua di Shirakawago, Kanda House. Sama seperti rumah sebelumnya, rumah ini juga tidak gratis untuk dijelajahi dan biaya untuk masuk ke dalamnya sama-sama ¥300. Tepat di depan Kanda House terdapat satu rumah lagi yang cukup terkenal di Shirakawago, yaitu Nagase House. Rumah ini juga tidak gratis dengan biaya masuk yang sama seperti dua rumah sebelumnya, tetapi saya melihat sesuatu yang menarik di sini yaitu sisa-sisa salju yang masih menempel di atap rumah.

Dari Nagase House, saya kembali melanjutkan perjalanan ke arah timur dan berikutnya yang terlihat adalah sebuah kuil kecil bernama Kuil Myozenji. Di sini saya sempat duduk sebentar sambil memotret suasana desa di siang hari yang sangat cerah. Dari Kuil Myozenji, perjalanan saya lanjukan ke arah selatan di mana saya menemukan hal menarik berikutnya, kincir air. Ini pertama kalinya saya melihat kincir air yang berputar sehingga saya tidak melewatkan momen tersebut untuk mengabadikannya dengan kamera. Kincir air tersebut terletak di samping sebuah toko cenderamata yang cukup ramai. Puas berfoto dengan kincir air, saya pun bergegas melanjutkan perjalanan ke arah selatan karena hanya tersisa 20 menit lagi untuk menikmati Shirakawago.

Untuk menuju tempat parkir bus yaitu Seseragi Parking Lot, saya pun harus melalui jembatan yang cukup besar namun cukup menegangkan karena bergoyang ketika dilewati, yaitu Jembatan Gantung Deai-Bashi. Setelah melewati jembatan, di sebelah kiri saya terdapat Museum Luar Ruang Gassho-zukuri Minkaen yang memiliki 9 rumah gassho-zukkuri. Namun sayang sekali pada saat itu sedang tutup sehingga saya harus puas hanya melihat museum terbuka tersebut dari luar.

Tidak terasa tur pun usai. Pengemudi Nohi Bus telah menyalakan mesin dan menginjak pedal gas perlahan-lahan meninggalkan Desa Shirakawago. Walaupun pada kunjungan ini Shirakawago tidak seperti desa di negeri dongeng yang berselimut salju, namun saya cukup puas bisa melihat langsung beberapa rumah dengan desain arsitektur gassho-zukkuri. Benar-benar pengalaman yang menakjubkan!

1
0
Apakah artikel ini bermanfaat?
Help us improve the site
Give Feedback

Thank you for your support!

Your feedback has been sent.